Search This Blog

Thursday, March 3, 2016

BAB II
GEOMORFOLOGI




Geomorfologi adalah salah satu cabang ilmu kebumian yang mempelajari tentang klasifikasi relief bumi, pemerian, dan cara terjadinya untuk mengetahui genesa pembentukannya. Relief bumi itu sendiri adalah ketidakteraturan permukaan bumi, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Studi geomorfologi suatu daerah umumnya mempunyai dua tujuan utama, antara lain yang pertama adalah mengelompokkan secara sistematik pemerian bentang alam dalam suatu skema pengelompokan terhadap suatu nama yang diberikan berdasarkan konsep tertentu. Kedua, mengetahui penyimpangan yang terjadi dari pengelompokan guna membuktikan adanya suatu perubahan dalam lingkungan bentang alam yang normal, untuk suatu tujuan dan sasaran yang ingin dicapai studi geomorfologi tersebut.
II. 1. Geomorfologi Regional
Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografi dan berdasarkan kesamaan morfologi serta tektoniknya, daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dibagi menjadi 7 zona (Gambar 3) yaitu:
1.      Quartenary Volkanoes (Gunung Api Kuarter)
2.      Zona Dataran Aluvium Jawa Utara
3.      Zona Rembang Madura
4.      Bogor, North-Serayu, and Kendeng anticlinorium (Bogor, Serayu Utara dan Antiklinorium Kendeng)
5.      Zona Depresi Randublatung
6.      Dome and ridges in the central depression zone (Dome dan pematang pada depresi pusat)

7.      Zona Pegunungan Selatan


Gambar 3. Peta fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur
(Modifikasi dari Bemmelen, 1949).

Berdasarkan pembagian fisiografis tersebut, maka daerah daerah penelitian termasuk dalam Zona Quartenary Volcanoes. Pada zona ini terbentuk suatu kompleks gunung api yang memanjang bearah baratlaut-tenggara yaitu rangkaian Gunung Ungaran - Gunung Telomoyo - Gunung Merbabu - Gunung Merapi yang berada pada lingkungan geologi vulkanik kuarter. Produk dari gunung api tersebut berupa batuan piroklastik dan lava dengan komposisi andesit-basaltik.

II. 2. Geomorfologi Daerah Penelitian
Klasifikasi geomorfologi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan klasifikasi konsep pembagian fasies gunung api terhadap sumber erupsi berdasarkan posisi relatif pada gunung api komposit, (Bogie and Mackenzie, 1998). Bogie and Mackenzie, 1998, membagi menjadi 4 fasies, berdasarkan posisi relatif terhadap sumber erupsi pada gunung api komposit, yaitu: fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan distal (Gambar 4).

Gambar 4. Pembagian fasies gunung api komposit, (Bogie and Mackenzie 1998).

Adapun penjelasan karakteristik litologi yang dijumpai pada modifikasi model fasies gunung api menurut Bronto (2006) yang mengacu ke dalam pembagian fasies gunungapi menurut Bogie and Mackenzie (1998) diatas adalah sebagai berikut:
1.        Siliceus Dome (Kubah Lava)
Kubah lava yang terbentuk dari proses magma yang membeku di dekat atau di atas permukaan sehingga menyumbat magma yang akan keluar ke permukaan. Mempunyai bentuk geometri kubah, dan mempunyai ukuran mineral yang halus kurang dari 1mm.
2.        Vent breccias
Vent breccias yang berbentuk urat-urat. Membeku di dalam permukaan bumi. Magma ini membeku pada rekahan-rekahan yang terbentuk akibat struktur geologi yang terbentuk akibat gravitasi (sesar normal) dan kekar.
3.        Agglomerate (aglomerat)
Aglomerat adalah batuan yang dibentuk oleh konsolidasi material-material dengan kandungannya didominasi oleh bomb gunungapi dimana kandungan 1apilli dan abu kurang dari 25%. Dengan bentuk butir yang membundar, dan berukuran lebih dari 64mm. Aglomerat adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur menurut Fisher & Schminke, (1984), (dapat dilihat pada Tabel 1)
1.        Intrusive (batuan beku intrusi)
Batuan terobosan (batuan beku intrusi) adalah merupakan magma yang menerobos batuan yang sudah terbentuk kemudian magma ini membeku di dalam permukaan bumi dan terdiri dari material silikat (SiO2). Mempunyai ukuran mineral yang kasar yaitu lebih dari 1 mm hingga 5 mm. Termasuk ke dalam jenis batuan beku plutonik. Dengan dijumpai asosiasi kubah lava, vent breccia, aglomerat, dan batuan beku intrusi maka dapat dimasukkan ke dalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto, (2006), dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackinzie (1998) termasuk ke dalam fasies sentral.
2.        Lava
Lava merupakan magma yang membeku di atas permukaan, terdiri dari material silikat (SiO2). Pada saat lava mengalir di permukaan magma membeku relatif cepat sehingga memperlihatkan struktur aliran dan banyak terdapat lubang gas (vasikuler). Mempunyai ukuran mineral yang halus yaitu kurang dari 1 mm. Termasuk ke dalam batuan beku ekstrusi.
3.        Tuff breccias (Breksi piroklastik/breksi vulkanik)
Breksi piroklastik adalah batuan yang tersusun atas aglomerat dan fragmen tuf. Batuan ini terbentuk akibat konsolidasi dari block-block gunung api dan tuf. Berukuran lebih dari 64 mm, dengan bentuk butir yang meruncing, grainsupported (masa dasar yang didukung butiran) dan hubungan antar butir yang terbuka. Breksi Piroklastik adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur menurut Fisher & Schminke, (1984), (dapat dilihat pada Tabel 1).
4.        Lapili tuff (lapili/batupasir vulkanik)
Lapili berasal dari bahasa latin yaitu lapillus, nama untuk hasil erupsi eksplosif gunungapi yang berukuran 2 mm - 64 mm. Selain itu fragmen batuan kadang-kadang terdiri dari mineral-mineral augit, olivin dan plagioklas. Karena ini adalah lapili tuf maka merupakan fragmen lapili pada masa dasar tuf. Lapili adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur menurut Fisher & Schminke, (1984). Dengan dijumpai asosiasi lava, breksi volkanik, batupasir volkanik, maka dapat dimasukkan ke dalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto, (2006) dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackinzie (1998) termasuk ke dalam fasies proksimal, (dapat dilihat pada Tabel 1)
5.        Tuff (Tuf)
Tuf adalah batuan piroklastik yang berukuran 2 mm – 0,06 mm yang dihasilkan oleh pelemparan dari magma akibat erupsi eksplosif. Tuf sudah mengalami konsolidasi, dengan kandungan abu mencapai 75%. Tuf adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur menurut Fisher & Schminke, (1984). Mekanisme pengendapan tuf dipengaruhi oleh gravitasi dan angin. Endapannya disebut endapan piroklastika jatuhan (air fall deposit), (dapat dilihat pada Tabel 1).
6.        Lahar
Lahar adalah material endapan piroklastik yang telah bercampur dengan fluida air. Endapannya dapat berupa breksi laharik, breksi yang dicirikan mempunyai bentuk butir yang meruncing berukuran lebih dari 64 mm, pemilahan buruk, mudsupported (masa dasar didukung lumpur) dengan butiran yang mengambang diatas masa dasar. Mekanisme pengendapan dipengaruhi oleh air sebagai media transportasi dan oleh gravitasi dengan jenis aliran butiran (debris flow). Pada endapan lahar dapat dijumpai struktur normal gradded bedding pada channel. Dengan dijumpai asosiasi tuf dengan lahar, maka dapat dimasukkan ke dalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto, (2006) dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackenzie (1998) termasuk ke dalam fasies medial.
7.        Lacustrine Siltstone (Batulanau hasil endapan danau)
Lacustrine Siltstone adalah batuan sedimen yang berukuran lanau yang merupakan hasil dari endapan danau. Batulanau ini dicirikan batuan yang kaya akan material organik.
8.        Conglomerate (Konglomerat)
Conglomerate adalah batuan sedimen yang berukuran diatas 64 mm, dengan bentuk butir yang membundar, mudsupported (masa dasar didukung lumpur) sehingga butiran mengambang diatas masa dasar.
9.        Interbedded sandstone and tuff
Interbedded sandstone and tuff adalah merupakan jenis batuan sedimen yang berukuran pasir 2 mm – 64 mm yang mengalami perlapisan. Dengan dijumpai asosiasi lacustrine sandstone, konglomerat, dan interbedded sanstone dengan tuf, maka dapat dimasukkan kedalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto, (2006) dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackenzie (1998) termasuk ke dalam fasies distal.
Tabel 1. Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik menurut Fisher & Schmincke (1984)

Ukuran Butir
(mm)
Bentuk Butir
Nama Klastika
Nama Endapan Piroklastik
(Berdasrkan Tekstur Batuan)
Belum Terbatukan
Terbatukan
> 64 mm
Membulat
Bom
Tepra Bom
Aglomerat
Runcing
Blok
Tepra Blok
Breksi Piroklastik
64 mm – 2 mm

Lapilus
Tepra Lapili
Batulapili
2 mm – 0, 06 mm

Abu Kasar
Debu Kasar
Tuf Kasar
< 0, 06 mm

Abu Halus
Debu Halus
Tuf Halus

Atas dasar-dasar yang telah disebutkan di atas, maka daerah penelitian dikelompokkan berdasarkan konsep pembagian fasies gunung api terhadap sumber erupsi berdasarkan posisi relatif pada gunung api komposit, (Bogie and Mackenzie, 1998)., yaitu: satuan fasies sentral (FS), satuan fasies proksimal (FP), fasies proksimal Merapi (FPM). Penjelasan mengenai satuan-satuan tersebut akan disampaikan melalui anak subbab berikut ini.
II. 2. 1. Satuan geomorfologi fasies sentral (FS)
Satuan ini tersusun atas intrusi andesit, breksi andesit, argilik hasil dari alterasi hidrothermal. Sehingga dapat dimasukan kedalam fasies sentral dari gunung api Merbabu (Gambar 5) mengacu konsep Bogie and Mackanzie, (1998). Pembentukan daerah ini disebabkan karena proses vulkano-tektonik yang terjadi pada holosen awal atau pleistosen akhir yang dipicu oleh proses naiknya magma yang bersumber dari zona benni off yang muncul kepermukaan melalui rekahan-rekahan yang terbentuk akibat tektonisme dan berlangsung secara poligenetik. Akibat adanya akumulasi magmatik dan vulkanik yang terus berlangsung secara poligenetik maka di daerah ini tumbuh meninggi membangun tubuh gunung api. Ketinggian daerah ini berkisar antara 2650 sampai dengan 3145 meter di atas permukaan laut.
Gambar 5. Satuan geomorfik fasies sentral; (a) puncak G. Watutulis, lensa kamera menghadap ke utara, (b) intrusi andesit, lensa kamera menghadap ke barat, (c) kawah G. Merbabu dan argilik hasil alterasi hidrothermal, lensa kamera menghadap ke selatan. (Penulis, 2015)

Daerah ini merupakan klimaks dari destinasi pendakian bagi pencinta alam khususnya, selain itu daerah ini merupakan zona infiltrasi air hujan dan kawasan hutan lindung. Satuan ini menempati sekitar 5% dari keseluruhan daerah penelitian. 
II. 2. 2. Satuan geomorfologi fasies proksimal (FP)
Satuan ini tersusun atas lava basaltis-andesitis (litologi yang dominan yang mengisi pada lembah-lembah atau sungai-sungai yang berhulu pada gunung Merbabu) lava basaltis-andesitis berstruktur masif, aliran-blocky, skoriaan., lapili tuf yang mayoritas telah terlapukan, breksi vulkanik, breksi andesit, dan material-material gunung api yang tak terbatukan berukuran mulai dari ash-lapili sebagian yang lain telah bercampur dengan tanah. Dari hasil pengamatan tersebut maka pada daerah ini dapat dimasukan kedalam fasies proksimal dari gunung api Merbabu (Gambar 6), berdasarkan konsep Bogie and Mackenzie, (1998). Daerah ini terbentuknya berkaitan erat dengan aktifitas magmatik, vulkanik, dan dipengaruhi pula oleh subsatuan yang berada di atasnya. Ketinggian daerah ini berkisar dari 1000 sampai dengan 2850 meter di atas permukaan laut. Daerah ini merupakan merupakan zona infiltrasi air hujan, kawasan hutan lindung, pemukiman dan area perkebunan masyarakat. Satuan ini menempati sekitar 93,5% dari keseluruhan daerah penelitian.

Gambar 6. Satuan fasies proksimal, lensa menghadap ke utara (Penulis, 2015).

II. 2. 3. Satuan geomorfologi fasies proksimal Merapi (FPM)
Satuan ini tersusun atas lava andesitis-basaltis yang mengisi pada dasar-dasar lembah atau sungai disebelah selatan gunung Merbabu daerah penelitian yang bersumber dari G. Merapi, lapili tuf yang mayoritas telah terlapukan, breksi vulkanik, dan material vulkanik yang tak terelaskan. Dari hasil pengamatan tersebut maka pada daerah ini dapat dimasukan kedalam fasies proksimal dari gunung api Merapi (Gambar 7) berdasarkan konsep Bogie and Mackenzie, (1998). Pembentukan daerah ini disebabkan oleh aktifitas vulkanisme gunung Merapi dan gunung Merbabu yang dipicu oleh rangkaian tatanan tektonik yang menyebabkan pola kelurusan vulkano-tektonik. Daerah ini dimanfaatkan sebagai warga untuk lahan pemukiman, perkebunan, pertambangan bahan galian golongan C. Satuan ini menempati sekitar 1,5% dari keseluruhan daerah penelitian.

Gambar 7. Fasies proksimal Merapi, lensa kamera semua menghadap ke timur. (Penulis, 2015).

II. 3. Pola Aliran Daerah Penelitian
Howard (1967) menyebutkan bahwa pola aliran erat hubungannya dengan kelerengan, resistensi batuan, kontrol struktur, proses geologi muda, sejarah geologi suatu daerah, berdasarkan faktor tersebut, maka dibuatlah klasifikasi pola aliran ke dalam pola dasar beserta perubahan dan perkembangannya. Yang dimaksud dengan pola aliran di sini tidak hanya pola sungainya saja, tetapi tecakup pula lembah–lembah takberair yang berhubungan dengan pola aliran daerah penelitian.
Oleh tingkat resistensi batuan, struktur geologi, dan proses yang langsung di daerah tersebut. Howard (1967), membuat klasifikasi pola pengaliran menjadi 2 macam, yaitu:
1. Pola dasar (basic pattern): merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai karakteristik yang khas yang dapat secara jelas dapat dibedakan dengan pola aliran lainnya. Pola dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola dasar yang lain dan kebanyakan dikontrol oleh struktur regional (Gambar 8).

Gambar 8. Klasifikasi pola aliran sungai yang belum mengalami perubahan
                (basic pattern) (Howard, 1967)

2.        Pola ubahan (modified basic pattern) merupakan sebuah pola pengaliran yang berbeda dari bentuk pola dasar dalam beberapa aspek regional. Pola ubahan biasanya merupakan ubahan dari salah satu pola dasar (Gambar 9).

Gambar 8. Klasifikasi pola aliran sungai yang belum mengalami perubahan
                (basic pattern) (Howard, 1967)

Beberapa pola aliran dasar yang mengacu pada pola pengaliran dasar dan ubahan dari Howard (1967), sebagai berikut:
(1).   Dendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur, maupun dikontrol oleh struktur baik lipatan maupun sesar. Contoh: pada batuan beku atau lapisan horisontal.
(2).   Paralel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis. Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.
(3).   Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan daerah pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.
(4).   Rectangular, pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor kekar-kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.
(5).   Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu titik pusat, biasanya mencirikan daerah gunungapi atau kubah.
(6).   Annular, bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.
(7).   Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau karst topografi.
Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang terlihat ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki resistensi yang sama.
Melalui pendekatan klasifikasi tersebut di atas, maka pola pengaliran di daerah penelitian termasuk dalam jenis pola aliran paralel dan radial (Gambar 10).

Gambar 10. Pola pengaliran di daerah penelitian (Penulis, 2015).


1.        Pola pengaliran palarel merupakan pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, pada daerah penelitian pola ini berkembang di sebelah selatan daerah penelitian mulai dari lereng puncak G. Merbabu sampai kaki G. Merbabu.
2.        Pola pengaliran radial merupakan pola aliran yang sangat khas yang berkembang pada suatu gunungapi, dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu titik pusat (puncak G. Merbabu), pola ini berkembang mencakup di sebagian besar daerah penelitian.

II. 4. Stadia Daerah Penelitian
Pada dasarnya stadia daerah merupakan gambaran bagaimana suatu bentuk morfologi telah berubah dari bentuk morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah tersebut. Pembentukan morfologi suatu daerah biasanya dikontrol oleh beberapa faktor seperti struktur geologi, litologi, dan proses geomorfologi, baik berupa proses endogen maupun eksogen.
Proses erosi bekerja pada saat dan setelah terjadinya pengangkatan suatu daerah dan secara terus-menerus akan sampai pada proses pendataran. Kenampakan morfologi saat ini merupakan hasil proses-proses endogen dan eksogen yang bekerja, terutama proses eksogen yang berhubungan langsung dengan proses erosi. Proses erosi juga dapat digunakan untuk mengetahui bentuk sungai dan tingkat erosi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat erosi sungai adalah tingkat resistensi batuan terhadap pelapukan dan erosi, kemiringan lereng, iklim (curah hujan), tingkat ketebalan vegetasi, aktivitas organisme (terutama manusia), waktu (lamanya proses erosi yang bekerja), dan permebilitas batuan.
Perkembangan stadia geomorfologi erat kaitannya dengan tingkat erosi di mana semakin tinggi tingkat erosinya maka akan memberikan kenampakan pada bentuk lahan menuju stadia geomorfologi tua. Lobeck (1939), mengelompokkan stadia daerah menjadi 4 (Gambar 11), yaitu:
1.        Stadia muda
Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk “V”, erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air terjun, kadang-kadang terdapat danau, keadaan permukaan yang masih rata, pada umumnya sedikit sekali penelanjangan sungai serta susunan stratigrafinya relatif teratur serta lembahnya sempit dan dangkal. 

Gambar 11. Stadia daerah sebagai model pedekatan penentuan stadia sungai di daerah  penelitian (Lobeck, 1939)


1.        Stadia dewasa
Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai sedang, aliran sungai agak berkelok-kelok atau meander, tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembahnya sudah mulai berbentuk “U”, lembah yang besar dan dalam, reliefnya relatif curam, stratigrafinya sudah agak kacau serta proses erosi yang dominan.
2.        Stadia tua
Stadia ini dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada vertikal, lembah lebar, tidak dijumpai meander lagi karena kelokan sungainya telah tersambung dan terbentuk danau tapal kuda, arus sungai tidak kuat. Kelanjutan dari proses-proses yang bekerja pada stadia dewasa yaitu keadaan permukaan semakin rendah, reliefnya relatif datar serta lembah sungai lebar dan dangkal.
3.        Stadia rejuvinasi (muda kembali)
Stadia ini dicirikan oleh perkembangan permukaan yang relatif datar kembali dan terlihat adanya perajangan-perajangan sungai kembali.
Atas dasar pengelompokan stadia daerah berdasarkan Lobeck (1939), maka dapat di interpretasikan bahwa stadia daerah pada daerah penelitian berupa stadia muda (Gambar 12). Ini dibuktikan pada daerah telitian kebanyakan memiliki gradien sungai besar, lembah berbentuk “V”, erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, terdapat air terjun, pada umumnya sedikit sekali penelanjangan sungai serta lembahnya sempit dan memiliki tebing-tebing yang curam.

Gambar 12. Penampang sungai berbentuk huruf “V” dengan lensa kamera menghadap ke timur (Gambar atas) dan terdapat air terjun pada daerah penelitian dengan lensa menghadap ke utara (Gambar bawah). (Penulis, 2015).

2 comments:

  1. Mas, izin copas yah buat laporan analisa lereng saya...
    terima kasih ya, semoga sukses. Aamiin.

    ReplyDelete
  2. Assalamu"alaikum Mas.. izin buat bahan mengajar.. Terima kasih

    ReplyDelete