BAB II
GEOMORFOLOGI
Geomorfologi adalah salah satu cabang ilmu kebumian
yang mempelajari tentang klasifikasi relief bumi, pemerian, dan cara terjadinya
untuk mengetahui genesa pembentukannya. Relief bumi itu sendiri adalah
ketidakteraturan permukaan bumi, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Studi geomorfologi
suatu daerah umumnya mempunyai dua tujuan utama, antara lain yang pertama
adalah mengelompokkan secara sistematik pemerian bentang alam dalam suatu skema
pengelompokan terhadap suatu nama yang diberikan berdasarkan konsep tertentu. Kedua,
mengetahui penyimpangan yang terjadi dari pengelompokan guna membuktikan adanya
suatu perubahan dalam lingkungan bentang alam yang normal, untuk suatu tujuan
dan sasaran yang ingin dicapai studi geomorfologi tersebut.
II. 1.
Geomorfologi Regional
Menurut
Van Bemmelen (1949), secara
fisiografi dan berdasarkan kesamaan morfologi serta tektoniknya, daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dibagi menjadi 7 zona (Gambar 3) yaitu:
1. Quartenary Volkanoes
(Gunung Api Kuarter)
2. Zona
Dataran Aluvium Jawa Utara
3. Zona
Rembang Madura
4. Bogor, North-Serayu, and Kendeng
anticlinorium (Bogor, Serayu Utara dan Antiklinorium
Kendeng)
5. Zona
Depresi Randublatung
6. Dome and ridges in the central
depression zone (Dome
dan pematang pada depresi pusat)
7. Zona
Pegunungan Selatan
Gambar 3. Peta fisiografi Jawa Tengah dan
Jawa Timur
(Modifikasi dari Bemmelen, 1949).
Berdasarkan
pembagian fisiografis tersebut, maka daerah daerah penelitian termasuk dalam Zona Quartenary Volcanoes. Pada zona ini
terbentuk suatu kompleks gunung api yang memanjang bearah baratlaut-tenggara
yaitu rangkaian Gunung Ungaran - Gunung Telomoyo - Gunung Merbabu - Gunung
Merapi yang berada pada lingkungan geologi vulkanik kuarter. Produk dari gunung
api tersebut berupa batuan piroklastik dan lava dengan komposisi
andesit-basaltik.
II. 2.
Geomorfologi Daerah Penelitian
Klasifikasi geomorfologi yang digunakan dalam
penelitian ini mengacu pada pendekatan klasifikasi konsep pembagian
fasies gunung api terhadap sumber erupsi berdasarkan posisi relatif pada gunung
api komposit, (Bogie and Mackenzie, 1998). Bogie and Mackenzie, 1998, membagi menjadi 4 fasies,
berdasarkan posisi relatif terhadap sumber erupsi pada gunung api komposit,
yaitu: fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan distal (Gambar 4).
Gambar
4. Pembagian fasies gunung api komposit, (Bogie and Mackenzie 1998).
Adapun penjelasan
karakteristik litologi yang dijumpai pada modifikasi model fasies gunung api
menurut Bronto (2006) yang mengacu ke dalam pembagian fasies gunungapi menurut
Bogie and Mackenzie (1998) diatas adalah sebagai berikut:
1.
Siliceus
Dome
(Kubah Lava)
Kubah lava yang
terbentuk dari proses magma yang membeku di dekat atau di atas permukaan
sehingga menyumbat magma yang akan keluar ke permukaan. Mempunyai bentuk
geometri kubah, dan mempunyai ukuran mineral yang halus kurang dari 1mm.
2.
Vent
breccias
Vent
breccias yang berbentuk urat-urat. Membeku di dalam
permukaan bumi. Magma ini membeku pada rekahan-rekahan yang terbentuk akibat
struktur geologi yang terbentuk akibat gravitasi (sesar normal) dan kekar.
3.
Agglomerate
(aglomerat)
Aglomerat adalah batuan
yang dibentuk oleh konsolidasi material-material dengan kandungannya didominasi
oleh bomb gunungapi dimana kandungan 1apilli dan abu kurang dari 25%. Dengan
bentuk butir yang membundar, dan berukuran lebih dari 64mm. Aglomerat adalah
penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur menurut Fisher & Schminke,
(1984), (dapat dilihat pada Tabel 1)
1.
Intrusive
(batuan beku intrusi)
Batuan terobosan
(batuan beku intrusi) adalah merupakan magma yang menerobos batuan yang sudah
terbentuk kemudian magma ini membeku di dalam permukaan bumi dan terdiri dari
material silikat (SiO2). Mempunyai ukuran mineral yang kasar yaitu
lebih dari 1 mm hingga 5 mm. Termasuk ke dalam jenis batuan beku plutonik. Dengan
dijumpai asosiasi kubah lava, vent breccia, aglomerat, dan batuan beku intrusi
maka dapat dimasukkan ke dalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto,
(2006), dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackinzie (1998) termasuk
ke dalam fasies sentral.
2.
Lava
Lava merupakan magma
yang membeku di atas permukaan, terdiri dari material silikat (SiO2).
Pada saat lava mengalir di permukaan magma membeku relatif cepat sehingga memperlihatkan
struktur aliran dan banyak terdapat lubang gas (vasikuler). Mempunyai ukuran
mineral yang halus yaitu kurang dari 1 mm. Termasuk ke dalam batuan beku
ekstrusi.
3.
Tuff
breccias (Breksi piroklastik/breksi vulkanik)
Breksi piroklastik adalah
batuan yang tersusun atas aglomerat dan fragmen tuf. Batuan ini terbentuk
akibat konsolidasi dari block-block
gunung api dan tuf. Berukuran lebih dari 64 mm, dengan bentuk butir yang meruncing,
grainsupported (masa dasar yang didukung butiran) dan hubungan antar butir yang
terbuka. Breksi Piroklastik adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan
tektur menurut Fisher & Schminke, (1984), (dapat dilihat pada Tabel 1).
4.
Lapili
tuff
(lapili/batupasir vulkanik)
Lapili berasal dari
bahasa latin yaitu lapillus, nama
untuk hasil erupsi eksplosif gunungapi yang berukuran 2 mm - 64 mm. Selain itu
fragmen batuan kadang-kadang terdiri dari mineral-mineral augit, olivin dan
plagioklas. Karena ini adalah lapili tuf maka merupakan fragmen lapili pada
masa dasar tuf. Lapili adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur
menurut Fisher & Schminke, (1984). Dengan dijumpai asosiasi lava, breksi
volkanik, batupasir volkanik, maka dapat dimasukkan ke dalam modifikasi model
fasies gunungapi menurut Bronto, (2006) dari model fasies gunungapi menurut
Bogie and Mackinzie (1998) termasuk ke dalam fasies proksimal, (dapat dilihat pada Tabel 1)
5.
Tuff
(Tuf)
Tuf adalah batuan
piroklastik yang berukuran 2 mm – 0,06 mm yang dihasilkan oleh pelemparan dari
magma akibat erupsi eksplosif. Tuf sudah mengalami konsolidasi, dengan kandungan
abu mencapai 75%. Tuf adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tektur
menurut Fisher & Schminke, (1984). Mekanisme pengendapan tuf dipengaruhi
oleh gravitasi dan angin. Endapannya disebut endapan piroklastika jatuhan (air
fall deposit), (dapat dilihat pada Tabel 1).
6.
Lahar
Lahar adalah material
endapan piroklastik yang telah bercampur dengan fluida air. Endapannya dapat
berupa breksi laharik, breksi yang dicirikan mempunyai bentuk butir yang
meruncing berukuran lebih dari 64 mm, pemilahan buruk, mudsupported (masa dasar
didukung lumpur) dengan butiran yang mengambang diatas masa dasar. Mekanisme
pengendapan dipengaruhi oleh air sebagai media transportasi dan oleh gravitasi
dengan jenis aliran butiran (debris flow). Pada endapan lahar dapat dijumpai
struktur normal gradded bedding pada channel. Dengan dijumpai asosiasi tuf
dengan lahar, maka dapat dimasukkan ke dalam modifikasi model fasies gunungapi
menurut Bronto, (2006) dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackenzie
(1998) termasuk ke dalam fasies medial.
7.
Lacustrine
Siltstone (Batulanau hasil endapan danau)
Lacustrine
Siltstone adalah batuan sedimen yang berukuran lanau yang
merupakan hasil dari endapan danau. Batulanau ini dicirikan batuan yang kaya
akan material organik.
8.
Conglomerate
(Konglomerat)
Conglomerate
adalah batuan sedimen yang berukuran diatas 64 mm, dengan bentuk butir yang membundar,
mudsupported (masa dasar didukung lumpur) sehingga butiran mengambang diatas
masa dasar.
9.
Interbedded
sandstone and tuff
Interbedded
sandstone and tuff adalah merupakan jenis batuan sedimen
yang berukuran pasir 2 mm – 64 mm yang mengalami perlapisan. Dengan dijumpai
asosiasi lacustrine sandstone, konglomerat, dan interbedded sanstone dengan
tuf, maka dapat dimasukkan kedalam modifikasi model fasies gunungapi menurut Bronto,
(2006) dari model fasies gunungapi menurut Bogie and Mackenzie (1998) termasuk
ke dalam fasies distal.
Tabel 1. Klasifikasi Nama Endapan dan
Batuan Piroklastik menurut Fisher & Schmincke (1984)
Ukuran
Butir
(mm)
|
Bentuk
Butir
|
Nama
Klastika
|
Nama
Endapan Piroklastik
(Berdasrkan
Tekstur Batuan)
|
|
Belum
Terbatukan
|
Terbatukan
|
|||
>
64 mm
|
Membulat
|
Bom
|
Tepra
Bom
|
Aglomerat
|
Runcing
|
Blok
|
Tepra
Blok
|
Breksi
Piroklastik
|
|
64
mm – 2 mm
|
|
Lapilus
|
Tepra
Lapili
|
Batulapili
|
2
mm – 0, 06 mm
|
|
Abu
Kasar
|
Debu
Kasar
|
Tuf
Kasar
|
<
0, 06 mm
|
|
Abu
Halus
|
Debu
Halus
|
Tuf
Halus
|
Atas dasar-dasar yang telah
disebutkan di atas, maka daerah penelitian dikelompokkan berdasarkan konsep pembagian fasies gunung api
terhadap sumber erupsi berdasarkan posisi relatif pada gunung api komposit,
(Bogie and Mackenzie, 1998).,
yaitu: satuan fasies sentral (FS), satuan fasies proksimal (FP), fasies
proksimal Merapi (FPM). Penjelasan mengenai satuan-satuan
tersebut akan disampaikan melalui anak subbab berikut ini.
II.
2. 1. Satuan geomorfologi fasies sentral (FS)
Satuan
ini tersusun atas intrusi andesit, breksi andesit, argilik hasil dari alterasi
hidrothermal. Sehingga dapat dimasukan kedalam fasies sentral dari gunung api
Merbabu (Gambar 5) mengacu
konsep Bogie and Mackanzie, (1998). Pembentukan daerah ini disebabkan karena
proses vulkano-tektonik yang terjadi pada holosen awal atau pleistosen akhir yang
dipicu oleh proses naiknya magma yang bersumber dari zona benni off yang muncul
kepermukaan melalui rekahan-rekahan yang terbentuk akibat tektonisme dan
berlangsung secara poligenetik. Akibat adanya akumulasi magmatik dan vulkanik
yang terus berlangsung secara poligenetik maka di daerah ini tumbuh meninggi
membangun tubuh gunung api. Ketinggian daerah ini berkisar antara 2650 sampai
dengan 3145 meter di atas permukaan laut.
Gambar 5.
Satuan geomorfik fasies sentral; (a) puncak G. Watutulis, lensa kamera
menghadap ke utara, (b) intrusi andesit, lensa kamera menghadap ke barat, (c)
kawah G. Merbabu dan argilik hasil alterasi hidrothermal, lensa kamera
menghadap ke selatan. (Penulis, 2015)
Daerah ini merupakan klimaks dari destinasi
pendakian bagi pencinta alam khususnya, selain itu daerah ini merupakan zona
infiltrasi air hujan dan kawasan hutan lindung. Satuan ini menempati sekitar 5% dari keseluruhan daerah
penelitian.
II.
2. 2. Satuan geomorfologi fasies proksimal (FP)
Satuan
ini tersusun atas lava basaltis-andesitis (litologi yang dominan yang mengisi
pada lembah-lembah atau sungai-sungai yang berhulu pada gunung Merbabu) lava
basaltis-andesitis berstruktur masif, aliran-blocky, skoriaan., lapili tuf yang mayoritas telah terlapukan,
breksi vulkanik, breksi andesit, dan material-material gunung api yang tak
terbatukan berukuran mulai dari ash-lapili sebagian yang lain telah bercampur
dengan tanah. Dari hasil pengamatan tersebut maka pada daerah ini dapat
dimasukan kedalam fasies proksimal dari gunung api Merbabu (Gambar 6), berdasarkan konsep Bogie
and Mackenzie, (1998). Daerah ini terbentuknya berkaitan erat dengan
aktifitas magmatik, vulkanik, dan dipengaruhi pula oleh subsatuan yang berada
di atasnya. Ketinggian daerah ini berkisar dari 1000 sampai dengan 2850 meter
di atas permukaan laut. Daerah ini merupakan merupakan zona infiltrasi air
hujan, kawasan hutan lindung, pemukiman dan area perkebunan masyarakat. Satuan ini menempati sekitar 93,5%
dari keseluruhan daerah penelitian.
Gambar 6. Satuan fasies proksimal, lensa
menghadap ke utara (Penulis, 2015).
II.
2. 3. Satuan geomorfologi fasies proksimal Merapi (FPM)
Satuan
ini tersusun atas lava andesitis-basaltis yang mengisi pada dasar-dasar lembah
atau sungai disebelah selatan gunung Merbabu daerah penelitian yang bersumber
dari G. Merapi, lapili tuf yang mayoritas telah terlapukan, breksi vulkanik,
dan material vulkanik yang tak terelaskan. Dari hasil pengamatan tersebut maka
pada daerah ini dapat dimasukan kedalam fasies proksimal dari gunung api Merapi
(Gambar 7) berdasarkan konsep
Bogie and Mackenzie, (1998). Pembentukan daerah ini disebabkan oleh
aktifitas vulkanisme gunung Merapi dan gunung Merbabu yang dipicu oleh
rangkaian tatanan tektonik yang menyebabkan pola kelurusan vulkano-tektonik. Daerah
ini dimanfaatkan sebagai warga untuk lahan pemukiman, perkebunan, pertambangan
bahan galian golongan C. Satuan
ini menempati sekitar 1,5% dari keseluruhan daerah penelitian.
Gambar 7.
Fasies proksimal Merapi, lensa kamera semua menghadap ke timur. (Penulis,
2015).
II. 3. Pola Aliran Daerah Penelitian
Howard (1967) menyebutkan bahwa pola aliran
erat hubungannya dengan kelerengan, resistensi batuan, kontrol struktur, proses
geologi muda, sejarah geologi suatu daerah, berdasarkan faktor tersebut, maka
dibuatlah klasifikasi pola aliran ke dalam pola dasar beserta perubahan dan
perkembangannya. Yang dimaksud dengan pola aliran di sini tidak hanya pola
sungainya saja, tetapi tecakup pula lembah–lembah takberair yang berhubungan
dengan pola aliran daerah penelitian.
Oleh tingkat resistensi batuan, struktur
geologi, dan proses yang langsung di daerah tersebut. Howard (1967), membuat
klasifikasi pola pengaliran menjadi 2 macam, yaitu:
1. Pola dasar (basic
pattern): merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai karakteristik yang
khas yang dapat secara jelas dapat dibedakan dengan pola aliran lainnya. Pola
dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola dasar yang lain dan kebanyakan
dikontrol oleh struktur regional (Gambar
8).
Gambar 8. Klasifikasi pola aliran sungai yang
belum mengalami perubahan
(basic pattern) (Howard, 1967)
2.
Pola ubahan (modified basic pattern) merupakan sebuah pola pengaliran yang
berbeda dari bentuk pola dasar dalam beberapa aspek regional. Pola ubahan
biasanya merupakan ubahan dari salah satu pola dasar (Gambar 9).
Gambar 8. Klasifikasi pola aliran sungai yang
belum mengalami perubahan
(basic pattern) (Howard, 1967)
Beberapa pola aliran dasar yang mengacu pada
pola pengaliran dasar dan ubahan dari Howard (1967), sebagai berikut:
(1). Dendritik, berbentuk serupa
cabang-cabang pohon dan cabang-cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan
sungai induk membentuk sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan
yang homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur, maupun dikontrol
oleh struktur baik lipatan maupun sesar. Contoh: pada batuan beku atau lapisan
horisontal.
(2). Paralel, pola aliran yang mempunyai
arah relatif sejajar, mengalir pada daerah dengan kemiringan lereng sedang
sampai curam, dapat pula pada daerah dengan morfologi yang paralel dan
memanjang. Pola ini mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis.
Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.
(3). Trellis, menyerupai bentuk tangga
dan sungai-sungai sekunder (cabang sungai) membentuk sudut siku-siku dengan
sungai utama, mencirikan daerah pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan
kekar.
(4). Rectangular, pola aliran yang dibentuk
oleh pencabangan sungai-sungai yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak
dikontrol oleh faktor kekar-kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.
(5). Radial, pola ini dicirikan oleh
suatu jaringan yang memancar keluar dari satu titik pusat, biasanya mencirikan
daerah gunungapi atau kubah.
(6). Annular, bentuknya melingkar
mengikuti batuan lunak suatu kubah yang tererosi puncaknya atau struktur basin
dan mungkin intrusi stock, bertipe subsekuen, cabangnya dapat obsekuen
atau resekuen.
(7). Multibasinal, pola yang terbentuk oleh
banyaknya cekungan-cekungan atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada
daerah rawa atau karst topografi.
Contorted, merupakan pola yang
berbentuk tidak beraturan, kadang terlihat ada pola trellis. Biasanya
berkembang di daerah metamorf yang bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan
berlapis yang memiliki resistensi yang sama.
Melalui pendekatan klasifikasi tersebut di atas, maka pola
pengaliran di daerah penelitian termasuk dalam jenis pola aliran paralel dan radial (Gambar 10).
Gambar 10. Pola pengaliran di daerah penelitian
(Penulis, 2015).
1.
Pola pengaliran palarel merupakan pola
aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, pada daerah penelitian pola ini
berkembang di sebelah selatan daerah penelitian mulai dari lereng puncak G.
Merbabu sampai kaki G. Merbabu.
2.
Pola pengaliran radial merupakan pola aliran
yang sangat khas yang berkembang pada suatu gunungapi, dicirikan oleh suatu
jaringan yang memancar keluar dari satu titik pusat (puncak G. Merbabu), pola
ini berkembang mencakup di sebagian besar daerah penelitian.
II. 4. Stadia
Daerah Penelitian
Pada dasarnya stadia daerah merupakan gambaran
bagaimana suatu bentuk morfologi telah berubah dari bentuk morfologi aslinya.
Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang
alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah tersebut. Pembentukan morfologi
suatu daerah biasanya dikontrol oleh beberapa faktor seperti struktur geologi,
litologi, dan proses geomorfologi, baik berupa proses endogen maupun eksogen.
Proses erosi bekerja pada saat dan setelah
terjadinya pengangkatan suatu daerah dan secara terus-menerus akan sampai pada
proses pendataran. Kenampakan morfologi saat ini merupakan hasil proses-proses
endogen dan eksogen yang bekerja, terutama proses eksogen yang berhubungan
langsung dengan proses erosi. Proses erosi juga dapat digunakan untuk
mengetahui bentuk sungai dan tingkat erosi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat erosi sungai adalah tingkat resistensi batuan terhadap pelapukan dan
erosi, kemiringan lereng, iklim (curah hujan), tingkat ketebalan vegetasi,
aktivitas organisme (terutama manusia), waktu (lamanya proses erosi yang
bekerja), dan permebilitas batuan.
Perkembangan stadia geomorfologi erat kaitannya dengan tingkat
erosi di mana semakin tinggi tingkat erosinya maka akan memberikan kenampakan
pada bentuk lahan menuju stadia geomorfologi tua. Lobeck (1939), mengelompokkan stadia daerah
menjadi 4 (Gambar 11), yaitu:
1.
Stadia
muda
Stadia ini dicirikan oleh
gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk “V”, erosi vertikal
lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air terjun, kadang-kadang
terdapat danau, keadaan permukaan yang masih rata, pada umumnya sedikit sekali
penelanjangan sungai serta susunan stratigrafinya relatif teratur serta
lembahnya sempit dan dangkal.
Gambar 11.
Stadia daerah sebagai model pedekatan penentuan stadia sungai di daerah penelitian (Lobeck, 1939)
1.
Stadia dewasa
Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai sedang, aliran sungai agak
berkelok-kelok atau meander, tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi
vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembahnya sudah mulai berbentuk “U”,
lembah yang besar dan dalam, reliefnya relatif curam, stratigrafinya sudah agak
kacau serta proses erosi yang dominan.
2.
Stadia tua
Stadia ini dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada
vertikal, lembah lebar, tidak dijumpai meander lagi karena kelokan sungainya
telah tersambung dan terbentuk danau tapal kuda, arus sungai tidak kuat.
Kelanjutan dari proses-proses yang bekerja pada stadia dewasa yaitu keadaan
permukaan semakin rendah, reliefnya relatif datar serta lembah sungai lebar dan
dangkal.
3.
Stadia rejuvinasi (muda kembali)
Stadia ini dicirikan oleh perkembangan permukaan yang relatif datar
kembali dan terlihat adanya perajangan-perajangan sungai kembali.
Atas
dasar pengelompokan stadia daerah berdasarkan Lobeck (1939), maka dapat di interpretasikan bahwa stadia daerah
pada daerah penelitian berupa stadia muda (Gambar 12). Ini dibuktikan pada daerah telitian kebanyakan memiliki
gradien sungai besar, lembah berbentuk “V”, erosi vertikal lebih besar dari
pada erosi lateral, terdapat air terjun, pada umumnya sedikit sekali penelanjangan
sungai serta lembahnya sempit dan memiliki tebing-tebing yang curam.
Gambar 12. Penampang sungai berbentuk huruf
“V” dengan lensa kamera menghadap ke timur (Gambar atas) dan terdapat air
terjun pada daerah penelitian dengan lensa menghadap ke utara (Gambar bawah). (Penulis,
2015).
Mas, izin copas yah buat laporan analisa lereng saya...
ReplyDeleteterima kasih ya, semoga sukses. Aamiin.
Assalamu"alaikum Mas.. izin buat bahan mengajar.. Terima kasih
ReplyDelete